Sabtu, 19 Oktober 2013

Mekanisme Imun

 PEMBAHASAN
1.      Mekanisme Imun
Obat-obatan yang merespon imun sekarang memainkan peranan penting dalam prosedur cagkok  jaringan dan dalam berbagai penyakit yang berhubungan dengan gangguan imunitas. Meskipun  beberapa detail mekanisme imun secara keseluruhn masih belum pasti, skema umum untuk tahapan yang terjadi dalam pembentukan imunitas spesifik dapat diuraikan secara ringkas
Imunitas spesifik merupakan hasil dari interaksi antigen(substansi yang dikenal oleh hosy normal senagai benda asng) dengan sel mononukleus yang beredar dalam darah,limf,dan jaringan. Terjadinya pengenalan diri atau “toleransi”merupakan peristiwa yang kompleks tetapi telah ditetapkan dala kandungan selama perkembangan jaringan limfosid. Kemampuan sel limfosid untuk interaksi dengan dengan antigen spesifik telah ditetapkan secra genetic dengan klon limfosid yang berbeda mempunyai spesivitas individu untuk determinan antigenic yang berlainan.
Tipe masing-masing sel yang terkait dalam respon imun dapat dikenali dengan antibody monoclonal terhadap susunan konstituen permukaan sel yangdisebut sebagai  clusters of differentiation(CDs) dan diidentifikasikan dengan angka. Sementara beberapa CDs dikenal hanya sebagai antigen membrane dan mempunyai fungsi yang tidak deketahui, yang lainya  sekarang diketahui sebagai reseptor spesifik dari enzim. Kelompok molekul yang penting dan dikenal sebagai antigen permukan sel adalah major  histocompatibility complex (MHC) antigen-antigen (MHC) kelas II yang mengikat fragmen antigen, dan kompleks hasil pembentukannya dapat dikenal  pleh sel T-helper. Interaksi sel-T dengan yang terikat pada antigen kelas II akan meningktkan respons imun yang nesar termasuk sel B dan respon antibody.
Pembentukan anti bodi spesifik imunoglobbulin terjadi dalam progeny sel limfosit tipe kedua. Sel B berasal dari sumsung tulang.sel pertama yang dapat dikenal dan termasuk dalam seri ini adalah sel pro-B, yamg mempunyai gen immunoglobulin tak tersusun dan mengeluarkan antigen kelas II HLA, CD19,CD37,CD38, dan CD40. Sel B dapat diketahui dengan adanya immunoglobulin monoclonal yang lengkap pada permukaanya yang bekerja sebagai  reseptor antigen. Sel B juga mempunyai reseptor untuk komponen komplemen dan komplek imun dan antigen permukaan se MHC(Ia). Sebelum kontak dengan antigen, immunoglobulin permukaan limfosit terutama terdiri dari jenis IgD dan IgM.
Sel pembentuk antibodi  dapat meningkatkan kapasitas sintesisnya dengan deferensiasi lanjutankedalam sel plasma, klon yang secara spesifik akan menghasilkan sejumlah antibody yang khas dari kelas immunoglobulin-IgG,IgA,IgM,IgD atau IgE, meskipun tempat aktif antibody tetap dalam bentuk identik setelah “perubahan” ini.  Akhirnya antibody spesifik mengikat antigen asing, terjadi preitasi, inaktvitas(misanya, virus) lisis(missal, sel darah merah) atau  opsonisasi diikuti leh fagositosis(missal, bakteri).  Dalam beberapa keadaan ini komplemen diikata dalam kompleks antibodi, antigen dan meningkatkan deskripsi atau fagositosis dari antigen. Setelah terbentuk respon anti bodi , paparan ulang dari antigen akan menimbulkan kombinasi kimia segera dari antigen dan anti bodi dan juga menyediakan booster untuk gelombang kedua yang cepat dari proliferasi sel dan sintesis antibodi.
Fungsi ganda dari imunitas ilmiah ini menegaskan percobaan alamiah tertentu atau penyakit genetik. Umpamanya sindrom diGeorge yang disebabkan  tidak tumbuhnya” branchial cleft” ketiga, dosertai dengan tidak adanya pengembangan timus dan gangguan pada hipersensitivitas lambat tetapi formasi antibody normal. Sebaliknya hipersensitivitas lambat biasanya normal dalam penyakit imunodefiensi congenital lain yaitu agammaglobulinemia congenital X-linked, yang bermanifestasi sebagai sindrom defisiensi antibody. Bayi dengan sindrom diGeorge atau mereka dengan imunodefisiensi ganda hebat(tidak mempunyai imunitas selurer dan himoral) tidak mempunyi aktivitas hormone timus yang beredar. Sejumlah anak-anak dengan imunodefisiensi ganda hebat ini mempunyai defisiensi spesifik dalam enzim adenosindeminase yang memainkan peran dalam metbolisme limfosit normal dan mencegah akumulasi intraseluler produk toksit seperti deoksi-ATP. Preparat enzim adenosine deaminase yang stabil telah dugunakan untuk mengobati anak-anak demikian. Hal yang lebih baru sekarang, penggunaan gene transfection telah dimulai untuk mengadakan pemulihan yang menetap dari aktivitas adenosine deaminase(“gen terai”). Peenlitian sel T dan B yang beredar dalam darah telah menunjukkan bahwa pasien dengan sindrom di George tidak mempunyai sel T, sedangkan mereka dengan agamaglobulinemia konginetal tidak mempunyai sel B. Kompleksitasi system imun memberikan sejumlah titik-titk control yang cukup untuk menghambat timbulnya “klon terlarang” yang reaktif dan menyerang konstituen inang sendiri, dan hal ini relative jarang terjadi.
Tabel Sitokinin
Sitokin
Sifat
Interferon α (IFB-α)
Menimbulkan aksi antivirus dan antiproliferasi
Interferon β (IFN-β)
Menimbulkan aksi antivirus dan antiproliferasi
Interferon γ ( IFN-γ)
Menimbulkan aksi imunodilator,mengatur produksi sitokin dan aktivitas mikrobial leukosit.
Interleukin-1 (IL-1)
Memacu pirogen endogen dan pertumbuhan sumsum tulang,medilator peradangan
Interleukin-2 (IL-2)
Memacu proliferasi sel T dan aktivitasnya untuk sel killer
Interleukin-3 (IL-3)
Memacu progenitor awal dari sumsum tulang
Interleukin-4 (IL-4)
Memacu proliferasi sel antigen-primed B dan sel T
Interleukin-5 (IL-5)
Memacu priliferasi sel eosinofil
Interleukin-6 (IL-6)
Memacu sel plasma dan progenitor awal sumsum tulang
Interleukin-7 (IL-7)
Memacu proliferasi dan diferensiasi sel progenitor awal
Interleukin-8 (IL-8)
Faktor kemotaktik netrofil
Interleukin-9 (IL-9)
Faktor pemacu pertumbuhan sel mast
Interleukin-10 (IL-10)
Menekan respons imun

Biasanya sebagian besar komponen sistem limfosit berada dalam keadaan “tertekan’ kuat sampai secara selektif untuk mengahadapi resons imun tertentu. Berbagai tahapan prose in  juga menyatakan secara tidak langsung kalau obat-obat imunosupresif dapat diarahkan pada berbagai tahapan termasuk induksi toleransi spesifik. Karena  system imun digunakan  untuk penghalang mikroorganisme yang menyerang, termasuk virus onkogenik dan toksin dan sel asing, imunosupresi umum dapat sanga berbahya bagi host.
Atau perkecualian yang perlu dicatat-imunoglobulin Rh(D)o- yang sekarang dapat diperoleh untuk penggunaan klinik sebgai obat imunosupresif, mempunyai khasiat imunosupresi umum meningkatkan bahaya infeksi dan juga rsiko perkembangan limforetikuler dan bentuk lain kanker. Umumnya lebih mudah mencegah atau mengrangi respon imun yang sudah terjadi.walaupun dengan pembatasan dan peringatan ini imusosupresan terbukti kegunaanya dalam beberapa penyakit imun yang yang didapat dan begitu ula ntuk transplantasi. Belum ada definisi sederhana untuk kelainan autoimun,sering dihubungkan dengan aktivasi dan poliferasi sel T dan dan produksi antibody terhada bahan jaringan inang. Meskipun reaksi autoimun dapat disebabkan oleh eclipsed viruses(seperti retrovirus), gejala dan tanda-tanda  penyakit sering berkurang terapi imunosupresi.
2.       Tes Imunokompeten
            Berbagai teknik yang telah dugunakan untuk mengetahui kompetensi imunologik dan perybahannyan yang diakibatkan oabat. Tes paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengetahui efek obat imunosupresi ata imuno ostimulasi adalah
(1)   Tes hopersensitivitas lambat dengan tes ntigen kulit untuk mengethui kemampuan mengadakan respons pada antigen. Antigen ini biasanya  mikroba, yang sebelumnya individu tersebut telah terpapar.  Contph paparan umum meliputi parotitis, streptokinase-strept=domonas serta tuberculin. Antigen lain termasuk zat kimia yang dapat membuat atu yang didapat.
(2)   Pengukuran imunogloulin serum, komplemen serum dan antibody spesifik terhdap berbagai antigen alamiah atau yang didpat.
(3)     Pengukuran berulang respons antibody setelah imunisasi primer atau suntika  booster krdua.
(4)   Jumlah absolute limfosit yng ada dalam sirkulasi
(5)   Pengukuran pesenyaes sell b, sel T dan unsure lain yang terdiri atas limfosit darah.
(6)   Respon poliferasi limfosit in vitro terhadap mitrogen seperti fitohemaglutinin, konkanavalin A dan mitogen pokeweed.
(7)    Reaksi limfosit campuran, dimana limfosit seseorang dicampur dan berpoliferasi sebagai respon pada limfosit alogenik orang lain.
(8)   Sitotoksisitas sel NK terhadap sel tumor target.

3.       Hubungan Antara Terapi Imunosupresif Dan Kemoterapi Kanker
Meskipun terdapat kesamaan penggunaan obat untuk imunosupresi dan kemo terapi kanker, beberapa prinsip pokok berbeda dalam pengaturan penggunaan obat untuk kedua katagori penyakit tersebut. Sifat dan kinetik poliferasi sel imun dan memberikan gambaran yang berbeda dalam penggunaan imunosupresi. Umpamanya poliferasi sel kanker “bukan karena rangsangan”, sedangkan poliferasi sel imun terjadi sebagai tespons adanya antigen spesifik. Pembelahan sel-sel kanker dalam populasi kanker yang besar rupanya terjadi secara random dan tidak sinkron, poliferasi sel imun terjadi secara relative lebih “sinkron ”dalam bentuk pembelahan miotik yang meledak setelah masuknya antigen, dengan fraksi besar sel-sel responsive membentuk siklus yang dapat menhasilkan imunitas spesifik. Jika obat sitotosik digunakan pada waktu pa-paran pertama untuk antigen asing suatu porsentase yang tinggi sekali dari permulaan sejumlah kecil sel precursor dapat dihancurkan, kerena antigen memacu klon tertentu untuk berkembang bukan dari seluruh sel-sel imun. Karena itu toksisitas selektif pada masa awal dapat diperoleh  untuk melawan klon imun yang tidak diinginkan, sedangkan tujuan ini lebih sulit diperoleh pada kemotrapi kanker. Tambahan pula jika obat obat sototosik digunakan untuk suresi imun, umumnya diberikan dalam dosis  rndah dalam jadwal harian untuk mengahambat poliferasi imun secara kelanjutan.
4.       Obat Imunosupresi
Kontrikosteroid merupakan obat hormone pertma yang dikenal berkhasiat limfolitik. Penggunaan glikokortikoid mengurangi ukuran dan masa limfoid dari nodus limfe dam limpa, meskipun obat tersebut tidak mempunyai efek toksik pada sel-sel myeloid atau eritorid yang berpoliferasi mengganggu siklus sel-sel limfoid. Mekanisme diterangkan dalam pasal 38 dan 56. Glukokortikoid bersifat cukup sitotosik untuk sebagian sel T tetapi efek imunologik barangkali disebabkan kemampuanya mengubah fungsi sel bukan dari peracunan sel langsung.glukokortikoid digunakan untuk berbagai variasi lus kejadian klinik yang diperkirakan kerena khasiat supresi imun dan anti inflamasi untuk mendapatkan keuntungan dari kedua efek ini. Indikasi lai meliputi kelainan autoimun seperti anemia heolitik autoimun, idiophathic threocytopenic purpura.
a.      Siklosporin
Siklosporin merupakan obat imunosupresif yang menunjukkan efektivitas yang baik dalam cangkok alat tubuh manusia,dalam pengobatan sindrom graft-versus-host setelah cangkok sumsum dan dalam pengobatan kelainanan autoimun tertentu.      
Siklosporin diberikan per oral setiap hari dengan dosis antara 7,5 -25 mg/kg.  Sejumlah laporan menunjukkan bahwa siklosporin sama potensi dan efikasinya untuk menyingkirkan penggunaan secara bersamaan   kortikosteroid,azatioprin,siklifosfamid dan obat imunosupresi lainnya, sedangkan pada beberapa pasien lain harus dikombinasi dengan imunosupresi lain. Digunakan sebagai satu-satuya imunosupresan cangkok kadaver ginjal,pankreas,hati dan juga telah terbuktisangat berguna untukcangkok jantung,. Siklosporin (7,5 mg/kg/hari tau kurang) juga baik sekali untuk berbagai kelainan autoimun sepert uveitis,reumatoid artritis dan pengobtatan awal diabetes tipe I.
5.Obat Sitotosik
a. Azatioprin
Azatioprin adalah turunan imidazolil dan merkaptopurin (6-merkaptopurin, 6MP) dan berfungsi sebagai analog struktural atau antimetabolit. Meskipun kerjanya diperkirakan melalui merkaptopurin sebagai bentuk aktif,tetapi telah digunakan lebih banyak daripada merkaptopurin untuk imunosupresi pada manusia.   Azatiprin diabsorbsi dari saluran cerna dengan baik dan dimetabolisir terutama menjadi merkaptopurin. Xantin oksidase memecah bentuk aktifnya menjadi ad=sam 6-tiourat sebelum dikeluarkan melalui urin. Setelah pemberian azatioprin,sejumlah kecil obat yang tidak berubah dan merkaptopurin juga dieksresikan ginjal dan intosikasi dua kali lipat dapat terjadi pada pasien anuria.
Imunosupresan dengan terapi azatioprin atau merkaptopurin tampaknya akan mengganggu metabolisme asam nuklaet pada tahap yang diperlukan untuk terjadinya proliferasi sel setelah stimulu antigen. Seperti merkaptopurin,toksisitas utama azatioprin adalah sumsum tulang dalam dalam bentuk leukopenia,anemia,trombositopenia, dan dapat berupa pendarahan.
b. Siklofosfamid
Alkilator siklofosfamid telah menjadi salah satu obat yang dipertimbangkan dan menguntungkan untuk imunosupresi pada hewan dan manusia. Barangkali merupakan obat imunosupresi paling kuat yang pernah disintesis. Siklofosfamid menghancurkan sel limfoid proliferatif tetapi juga mengalkilasi sel istirahat (resting cells). Dengan dosis yang lebih kecil,sangat efektif untuk kelainan autoimun ( termasuk sistemik lupus eritematosus), pada pasien dengan antibodi faktor XIII yang di dapat dan sindrom pendarahan,anemia hemolitik autoimun,aplasia sel darah merah murni yang diinduksi antibodi dan pasien dengan granulomatosis Wegener.
c.       Obat Sitotoksik Lain
            Obat Sitotoksik lain, seperti vinkristin, metotreksat, dan sitarabin, juga berkhasiat sebagai imunosupresi. Metotreksat telah digunakan seacara luas dalam artritis rematoid. Meskipun obat-obat lain dapat digunakan untuk imunosupresi, namun tidak diterima secara luas seperti antagonis purin dan indikasinya untuk imunosupresi kurang jelas. Penggunaan metotreksat ( yang dapat diberikan per oral ) cukup baik bagi pasien yang idiosinkratik terhadap antagonis purin. Antibiotik daktinomisin juga telah digunakan  dengan hasil cukup baik untuk mencegah terjadinya penolakan cangkok ginjal. Vinkristin berguna untuk pengobatan idiopatik trombositopenik purpura yang refrakter pada prednison. Vinca  alkaloid vinblastin, dapat mencegah degranulasi sel mast in vitro dengan mengikat unit mikrotubulus dalam sel dan mencegah lepasnya histamin den senyawa vasoaktif lain.
d.      Antibodi Antilimfosit dan Antitimosit
            Antisera yang ditujukan pada limfosit telah disiapkan secara sporadis sejak observasi Metchnikoff pertama pada awal abad ini. Dengan era homotransplantasi organ manusia, globulin antilimfositik heterolog ( ALG ) menjadi sesuatu yang baru dan penting. ALG dan globulin dan antitimosit ( ATG ) dan monoklonal antibodi anti sel T sekarang digunakan klinik pada berbagai pusat kesehatan yang mempunyai program transplantasi morgan. Antiserum biasanya diperoleh dengan imunisasi hewan besar dengan sel limfoid manusia atau dengan teknik hidridoma untuk pembentukan antibodi monoklonal.
            Antibodi antilimfosit bekerja terutama pada limfosit perifer yang hidup lal, kecil, dan beredar di antara darah dan pembuluh limfe. Dengan pemberian yang berkesinambungan, limfosit “ thymus dependent “ dari folikel limfoid cuff   juga musnah , yang pada keadaan normal ikut serta dalam  resirkulasi pool .
            Mekanisme yang lain adalah sitotoksitas yang diperantarai sel dan tergantung pada antibodi. Di samping  lisis sel, pembentukan antibodi dapat menghambat fungsi imun dengan mengubah ekspresi permukaan molekul terkait dalam funsi limfosit.
            Penggunaan Klinik Obat Imunosupresi
Obat imunosupresan sekarang ini digunakan dalam 3 keadaan klinik: (1) cangkok organ, (2) gangguan, (3) gangguan isoimun ( penyakit hemolitik Rh pada bayi ). Penggunaan dan jadwal pemberian obat tidak sama  tehadap penyakit yang dihadapi. Meskipun demikian jadwal pengobatan yang optimal masih perlu ditetapkan dalam situasi klinik  setiap penyakit yang menggunakan obat jenis tersebut.
Penyakit
Obat Imunosupresi yang Digunakan
Respons
Autoimun
Idiopatik thrombositopenik purpura
Prednison, 1 vinkristin, kadang-kadang merkaptopurin atau azatioprin, dosis tinggi gama globulin
Biasanya bagus
Autoimun hemolitik anemia
Prednison,1 siklofosfamid,kloramnusil,merkaptopuirin,
azatioprin
Biasanya bagus
Glomerulonefritis akut
Prednison,1 merkaptopurin, siklofosfamid
Biasanya bagus
Acquired factor XIII antibodies
Siklofosfamid plus faktor XIII
Biasnya bagus
Penyakit
autoreaktif “ lain
Prednison, siklotosfamid,azatioprin,siklosporin
Sering kali bagus
Isoimun
Anemia hemolitik bayi baru lahir
Globulin imun Rho (D)1
Sangat bagus
Transplantasi Organ
Ginjal
Jantung
Sikloporin,azatiprin,prednison, ALG, antibodi monoklonal, daktinomisin, siklofosfamid
Sangat bagus

Bagus
Hati
Siklosporin,prednison
Sedang
Sumsum tulang (HLA-matched)
Siklosporin,siklotosfamid,prednison,metotreksat, ALG,iradasi tubuh total, sumsum donor yang dibersihkan dengan antibodi monoklonal anti-sel T,imunotoksin.
Sangat bagus

    
           
6.      Transplantasi organ
            Didasarkan pada kesesuaian histokompatibilitas donor dan resipien dengan antigen leukosit manusia ( HLA) sistem haplotipe dan kultur limfosit campuran in vitro, memberi keuntungan yang juelas. Kesesuaian histo kompatibilitas yang erat kemungkinan besar mengurangi rejeksi graft dan juga mengurangi kebutuhan terapi imunosupresi intensif.
            Penyakit ginjal primer itu sendiri seringkali berupa kelainan imunologi alamiah, dua tipe utama luka glomerulonefritis akut, diperantarai oleh mekanisme imun. Demikian pula pasien dengan penyakit SLE adalah calon yang buruk untuk cangkok ginjal, sampai penyebab sistemik dari kerusakan ginjal itu dapat dikontrol.
            Pada waktu ini lebih dari 80% csngkok ginjal yang tidak berkaitan (nonrelated) tetapi dipilihy dengan baik dapat bertahan lebih dari 2tahun setelah cangkok dan 5 tahun survival bukanlah suatu harapan yang semu. Seperti dibicarakan di atas, penggunaan antibodi snti sel T monoklonal muromonab CD3 telah menurunkan secara bermakna rejeksi graft akut.
            Pasien dengan anemia aplastik atau leukimia memerlukan imunosupresi yang intensif sebelum transplantasi.
            Antibodi monoklonal terhadap terhadap anti-gen yang berhubungan dengan leukimia, limfoma dan neuroblastoma telah digunakan untuk “ membersihkan “ sumsum tulang pasien untuk simpanan sumsum tulang autolog dan infus ulangan setelah kemoterapi dosis tinggi.
            Siklosporin telah terbukti sebagai obat imunosupresi yang efektif untuk transplantasi ginjal,jantung,hati atau sumsum tulang. Bersama dengan obat yang lebih baru, sekarang obat ini sedang sedang dievaluasi sebagai alternatif  terhadap rejimen imunosupresi yang lebihkompleks. 
           

7.      Penyakit Autoimun
            Efektivitas obat-obat imunosupresi dalam gangguan autoimun sangat berbeda. Meskipun demikian dengan terapi imunosupresi, remisi dapat diperoleh pada berbagai keadaan dari anemia hemolitik autoimun, idiopatik trombositopenik purpura, diabetes mellitus I, tiroiditas Hashimoto, dan arteritis temporal. Beberapa kasus anemia aplastik idiopatik juga mempunyai basis autoimun.dalam beberapa keadaan disebabkan peningkata aktivitas sel-T supresor CD8+.
            Beberapa pasien baru dengan anemia aplastik menunjukkan perbaikan klinik dan perpanjangan survival dengan ATG saja. Beberapa kasus sebelumnya yang diberi transplantasi sumsum tulang setelah diobati dengan siklofosfamid, siklosporin atau ALG, menunjukkan perbaikan jangka panjang dalam jumlah darah walau ada bukti rejeksi graft dan perbaikan fungsi sumsum resepien, juga memperbaiki beberapa kasus anemia aplastik dengan dasar autoimun.
            Dalam banyak keadaan dianggap hanya khasiat obat-obat imunosupresi seperti prednisone, siklosporin, siklofosfamid, merkaptopurin atau ALG yang menghasilkan perbaikan ini. Efek anti-inflamasi dari beberapa obat tersebut juga memberikan kontribusi untuk efikasinya.
8.      Obat-Obat Imunomodulator
            Bidang baru dalam farmakologi masih dalam tahap penjajakan dan berdebatan adalah perkembangan obat-obat yang dapat mengadakan modulasi respons imun pasien yang mempunyai imunodefisiensi selektif atau umum. Penggunaan potensi utama adalah dalam penyakit imunodefisiensi , penyakit infeksi kronis dan kanker. Sekarang dua obat imunostimulator atau imunomodulator (BCG dan levamisol) digolongkan sebagai obat yang telah diteliti. Epidemi AIDS telah meningkatkan kecenderungan dalam mengembangkan obat imunomodulator yang lebih efektif. Organisme HIV masuk tubuh dan menghancurkan sel helper CD4+, yang menyebabkan kelumpuhan imunologik yang progresif.

9.      Timosin dan Peptida Timik Lain
            Timosin terdiri dari kelompok protein hormone yang disintesis oleh komponen epitelioid timus. Sudah dapat diisolasi dan dimurnikan dari kelenjar timus sapi dan manusia. Kadar timosin tetap tinggi pada anak normal dan awal dewasa, mulai turun pada decade ketiga dan keempat serta rendh pada usia tua. Kadar serum juga rendah dalam sindrom DiGeorge dengan efisien sel T. Pengobatan in vitro limfosit dengan timosin meningkatkan jumlah sel ditunjukkan oleh surface marker dan fungsi sel T.
            Secara mekanis, timosin dianggap memecu maturasi sel pre-T. Efek transplantasi timus fetal pada sindrom DiGeorge mungkin disebabkan karena timosin. Hormone yang dimurnikan memberikan efek yang potensial untuk sindrom DiGeorge dan keadaan efesien sel T lainnya. Peptide rekombinan yang merupakan turunan hormone ini, timosin à-1, memacu produksi IL-2 dan meningkatkan ekspresi reseptor IL-2 pada limfosit T. Peptida ini sudah diuji klinik untuk pengobatan kanker dan hepatitis aktif kronis dengan hasil permulaan yang menggembirakan .
            Dua peptida lain yang berkaitan dengan timus, timopentin  dan factor humoral timik, juga berkhasiat memacu sel T dan sedang diteliti untuk pengobatan AIDS, kanker dan hepatitis.
a.        Sitokin
          Sitokinin adalah kelompok protein heterogen dengan fungsi bermacam-macam. Beberapa diantaranya berupa protein imunoregulator disintesis dalam sel limforetikular dan memainkan banyak peran dalam interaksi fungsi system imun dan control untuk hematopoiesis. Sebagian besar dari sitokin yang baru ditemukan dikelompokkan sebagai interleukin dan diberi nomor sesuai dengan urutan penemuannya. Identifikasi interleukin dan produksi sitokin yang amat murni dari berbagai tipe telah dimungkinkan dengan pengembangan dan aplikasi biofarmasi teknik cloning gen.
            Sekarang obat-obat ini telah tersedia melalui rekayasa genetic, sitokin berperan semakin penting dalam imunofarmakologi dan kemungkinan akan digunakan dalam berbagai pengobatan untuk infeksi, inflamasi, autoimun dan kelainan neoplasma. Sitokin sebagai ajuvan pada vaksin sedang diteliti baru-baru ini. Interferon dan IL-2 menunjukkan efek positif dalam respons manusia pada vaksin hepatitis B. Namun sitokin rekombinan merupakan obat mahal dan tidak akan mencapai penggunaan luas sebagai ajuvan vaksin.
            Pendekatan untuk imunomodulasi adalah penggunaan inhibitor sitokin dalam pengobatan penyakit inflamasi dan syok septic, kondisi dimana sitokin seperti IL-1 dan TNF tersangkut dalam mekanisme patogenetik. Antisitokin monoclonal anti bodi masih dalam penelitian, reseptor sitokin yang larut (kedua reseptor IL-1 yang larut dan reseptor TNF yang larut terjadi secara alamiah manusia), dan antagonis IL-1 reseptor yaitu IL-1 Ra (juga molekul yang terjadi alamiah dan terikat pada reseptor IL-1 tetapi tidak memacu respons biologi) masih dalam penelitian. Uji klinik lain menggunakan IL-1 Ra untuk colitis ulseratif, arthritis rematoid dan leukemia mielogenus juga sedang dikerjakan.
b.       Obat Sintetik
            Beberapa zat kimia sintetik telah ditemukan memiliki sifat-sifat imunomodulasi. Agen kimia levamisol pertama kali disintesis untuk  pengobatan infeksi parasit. Dari pengamatan selanjutnya, obat ini berperan penting dalam meningkatkan hipersensivitas lambat atu imunitas yang diperantarai sel-T pada manusia. Obat ini juga memperkuat kerja fluorourasil dalam terapi ajuvan kanker kolorektal dan sebagai kombinasi telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan klinik dalam pengobatan kanker kolorektal kelas C dari Dukes setelah pembedahan. Penggunaan obat ini sangat mengurangi rekurensi dan mekanismenya mungkin  berkaitan dengan aktivasi magrofag dan dapat membunuh sel-sel sisa tumor. Obat sintetik lain yang sedang diteliti untuk pengobatan AIDS dan kanker adalah senyawa sianoaziridin (azimekson, siamekson dan imekson) dan metalinosin monofosfat.

c.       BCG (Bacille Calmette-Guerin) dan Ajuvan lain
            BCG merupakan srain hidup dari Mycobacteriumbovis yang telah digunakan untuk imunisasi terhadap tuberkulosa. Telah dipakai untuk terapi ajuvan non-spesifik atau imunostimulan dalam pengobatan kanker tetapi hanya berhasil dalam terapi intravesikal atau kanker kandung kemih superficial. BCG mengadakan aktivasi magrofag untuk lebih efektif sebagai sel pembunuh yang bekerja sama dengan sel limfoid dalam cabang eferen dari respons imun. Ekstrak lipid BCG (contoh , residu methanol ekstrak) beserta preparat Corynebacterium parvum yang mati mempunyai kemampuan imunostimulan nonspesifik yang hamper sama.
10.             Reaksi Imunologi pada Obat dan Alergi Obat
            Mekanisme dasar imunitas dan cara bagaimana untuk menghambat atau memacunya dengan obat telah dibicarakan pada bab ini. Obat juga mengaktifkan system imun dengan yang tidak diinginkan yang bermanifestasi sebagai reaksi yang merugikan. Reaksi ini umumnya dimasukkan dalam klarifikasi yang luas sebagi “alergi obat”. Reaksi obat diperantarai oleh proses imun dapat mempunyai mekanisme yang berbeda. Salah satu dari jenis hipersentivitas dibawah ini dapat dihubungkan dengan reaksi alergi obat.
Tipe I: reaksi alergi akut diperantarai IgE terhadap sengatan, serbuk bunga dan obat, termasuk anafilaksis, urtikaria dan angioedem.
Tipe II: reaksi alergi tergantung pada komplemen dan melibatkan antibody IgD atau IgM dimana antibody melekat pada sel darah yang beredar dan dapat mengalami lisis yang bergantung pada komlemen.
Tipe III: reaksi obat dengan contoh sakit serum, melibatkan imun komleks yang mengandung IgD dan merupakan vaskulitas komlemen-dependent yang multisystem.
Tipe IV: alergi melalui sel yang mekanismenya berupa kontak alergi dermatitis dari pemakaian obat topical.
Dari jumlah reaksi obat, beberapa dari reaksi hipersensitivitas ini dapat terjadi bersamaan.
11.            Alergi Cepat Obat (Tipe I )
            Mekanisme aktivasi imun yang mengadakan reaksi dalam alergi obat sama dengan respon antibody humoral yang biasa terjadi pada makromolekul asing. Ikatan ini dapat terjadi pada tubuh dengan jaringan normal atau protein serum yang berfungsi sebagai karier. Respons imun berikutnya yang terjadi akan bersifat spesifik untuk hapten meskipun ikatan dalam satu karier penting untuk pengenalan imun. Ketiaka obat berfungsi sebagai hapten sel precursor yang membentuk antibody yang responsive sering merupakan sel precursor yang menghasilkan antibody golongan IgE. Kemudian fiksasi antibody IgE terhadap reseptor Fc yang mempunyai afinitas tinggi dari basofil darah atau sel yang berasal dari jaringan yang ekuivalen akan menyebabkan terjadi reaksi alergi akut.
12.            Pengobatan Alergi Cepat pada terhadap Obat
          Seseorang dapat diketahui sensitive atau tidak terhadap obat dengan tes goresan yang sederhana yaitu dengan menggunakan larutan obat yang sangan encer pada kulit dan membuat goresan dengan ujung sebuah jarum. Jika terdapat alergi, pada kulit terjadi pembengakakan dan berwarna merah seperti kaligata. Obat yang dapat mengubah respons alergi bekerja pada beberapa mata rantai dari rangkaian kejadian ini. Prednison sering digunakan untuk reaksi alergi hebat, adalah imunosupresif dan barangkali menghambat proliferasiklon penghasil IgE dan menghambat produksi IL-4 dengan sel helper T dalam respons IgE.
14. Desentisisasi Obat  
            Jika tidak ada pilihan lain, obat-obat tertentu seperti penisilin harus digunakan untuk penyakit yang membahayakan jiwa meskipun diketahui dapat menimbulkan sensitivitas alergi. Dalam keadaan demikian, desentisisasi kadang-kadang dilakukan dengan melalui dosis sangat kecil dan ditingkatkan secara bertahap dalam periode jam atau hari sampai mencapai dosis terapi penuh. Mekanisme yang sebenarnya dari proses desentisisasi obat itu sangat komleks danbelum diketahui seluruhnya. Dapat disebabkab anafilaksi yang terkendali (dengan deplesi perlahan sel mast dan basofil) sementara gejala ditekan atau disebabkan kelebihan antigen, yang dalam keadaan tertentu dapat terjadi hambatan pelepasan mediator, desensitisasi alergi dilaksanakan dengan stimulasi sel klon kompetitif yang memproduksi “blocking” antibody, sering dari golongan immunoglobulin IgG atau IgA.
13.            Reaksi Autoimun (Tipe II) pada Obat
            Beberapa sindrom autoimun tertentu dapat ditimbulkan obat. Contoh fenomena ini adalah lupus sistemik eritematosus setelah terapi dengan hidralzin  atau prokainamid, “ hepatitis lupoid” karena sensitive pada obat pencahar, anemia hemolitik autoimun akibat pemakaian me-til dopa, trombosikopenik purpura karena kuinidin dan agranulositosis karena berbagai obat. Dalam keadaan autoimun yang disebabkan obat ini, antibody terhadap konstituen jaringan atau obat dapat diperlihatkan. Untungnya, reaksi autoimun terhadap obat ini biasanya surut setelah beberapa bulan setelah obat yang bersangkutan dihentikan. Terapi imunosupresi hanya diperlukan jika respons autoimun sangat hebat.
14.            Reaksi Penyakit Serum dan Vaskulitis(Tipe III)
          Reaksi penyakit serum terhadap obat lebih umum dari respons anafilaktik segera. Bentuk kliniknya berupa erupsi urtikaria pada kulit, artalgia atau arthritis, limfadenopati dan demam. Reaksi umumnya berlangsung 6-12 hari, biasanya reda setelah obat penyebab dihentikan. Vaskulitis imun juga dapat disebabkan obat. Obat-obat seperti sulfonamid, penisilin, tiourasil, antikonvulsan, dan yodida dapat menginisiasi angiitis hipersensitif.
18. Identifikasi Klinik dari Reaksi Imunologik terhadap Obat
            Memperhatikan banyaknya obat-obat yang diberikan pada pasien dirumah sakit, tidak selalu mudah menetapkan obat mana yang menimbulkan sindrom imun atau alergi terhadap obat. Dengan anamnesa, obat yang teliti sebelum terjadinya sensitivitas obat, merupakan hal yang amat penting untuk pembuatan medical record pasien dan kelalaian dalam melakukan hal ini dapat berbahaya. Obat alternative harus digunakan misalnya antibiotic, perlu untuk memilih satu bentuk yang berbeda dari golongan lain untuk menghindarkan reaksi sensitive silang.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar