PEMBAHASAN
1.
Mekanisme Imun
Obat-obatan yang merespon imun sekarang memainkan
peranan penting dalam prosedur cagkok
jaringan dan dalam berbagai penyakit yang berhubungan dengan gangguan
imunitas. Meskipun beberapa detail
mekanisme imun secara keseluruhn masih belum pasti, skema umum untuk tahapan
yang terjadi dalam pembentukan imunitas spesifik dapat diuraikan secara ringkas
Imunitas spesifik merupakan hasil dari interaksi
antigen(substansi yang dikenal oleh hosy normal senagai benda asng) dengan sel
mononukleus yang beredar dalam darah,limf,dan jaringan. Terjadinya pengenalan
diri atau “toleransi”merupakan peristiwa yang kompleks tetapi telah ditetapkan
dala kandungan selama perkembangan jaringan limfosid. Kemampuan sel limfosid
untuk interaksi dengan dengan antigen spesifik telah ditetapkan secra genetic
dengan klon limfosid yang berbeda mempunyai spesivitas individu untuk
determinan antigenic yang berlainan.
Tipe masing-masing sel yang terkait
dalam respon imun dapat dikenali dengan antibody monoclonal terhadap susunan
konstituen permukaan sel yangdisebut sebagai
clusters of differentiation(CDs) dan diidentifikasikan dengan angka.
Sementara beberapa CDs dikenal hanya sebagai antigen membrane dan mempunyai
fungsi yang tidak deketahui, yang lainya
sekarang diketahui sebagai reseptor spesifik dari enzim. Kelompok
molekul yang penting dan dikenal sebagai antigen permukan sel adalah major histocompatibility complex (MHC)
antigen-antigen (MHC) kelas II yang mengikat fragmen antigen, dan kompleks
hasil pembentukannya dapat dikenal pleh
sel T-helper. Interaksi sel-T dengan yang terikat pada antigen kelas II akan
meningktkan respons imun yang nesar termasuk sel B dan respon antibody.
Pembentukan anti bodi spesifik imunoglobbulin
terjadi dalam progeny sel limfosit tipe kedua. Sel B berasal dari sumsung
tulang.sel pertama yang dapat dikenal dan termasuk dalam seri ini adalah sel
pro-B, yamg mempunyai gen immunoglobulin tak tersusun dan mengeluarkan antigen
kelas II HLA, CD19,CD37,CD38, dan CD40. Sel B dapat diketahui dengan adanya
immunoglobulin monoclonal yang lengkap pada permukaanya yang bekerja
sebagai reseptor antigen. Sel B juga
mempunyai reseptor untuk komponen komplemen dan komplek imun dan antigen permukaan
se MHC(Ia). Sebelum kontak dengan antigen, immunoglobulin permukaan limfosit
terutama terdiri dari jenis IgD dan IgM.
Sel pembentuk antibodi dapat meningkatkan kapasitas sintesisnya
dengan deferensiasi lanjutankedalam sel plasma, klon yang secara spesifik akan
menghasilkan sejumlah antibody yang khas dari kelas
immunoglobulin-IgG,IgA,IgM,IgD atau IgE, meskipun tempat aktif antibody tetap
dalam bentuk identik setelah “perubahan” ini.
Akhirnya antibody spesifik mengikat antigen asing, terjadi preitasi,
inaktvitas(misanya, virus) lisis(missal, sel darah merah) atau opsonisasi diikuti leh fagositosis(missal,
bakteri). Dalam beberapa keadaan ini
komplemen diikata dalam kompleks antibodi, antigen dan
meningkatkan deskripsi atau fagositosis dari antigen. Setelah terbentuk respon
anti bodi , paparan ulang dari antigen akan menimbulkan kombinasi kimia segera
dari antigen dan anti bodi dan juga menyediakan booster untuk gelombang kedua
yang cepat dari proliferasi sel dan sintesis antibodi.
Fungsi ganda dari imunitas ilmiah ini menegaskan
percobaan alamiah tertentu atau penyakit genetik. Umpamanya sindrom diGeorge
yang disebabkan tidak tumbuhnya”
branchial cleft” ketiga,
dosertai dengan tidak adanya pengembangan timus dan gangguan pada
hipersensitivitas lambat tetapi formasi antibody normal. Sebaliknya
hipersensitivitas lambat biasanya normal dalam penyakit imunodefiensi
congenital lain yaitu agammaglobulinemia congenital X-linked, yang
bermanifestasi sebagai sindrom defisiensi antibody. Bayi dengan sindrom diGeorge
atau mereka dengan imunodefisiensi ganda hebat(tidak mempunyai imunitas selurer
dan himoral) tidak mempunyi aktivitas hormone timus yang beredar. Sejumlah
anak-anak dengan imunodefisiensi ganda hebat ini mempunyai defisiensi spesifik
dalam enzim adenosindeminase yang memainkan peran dalam metbolisme limfosit
normal dan mencegah akumulasi intraseluler produk toksit seperti deoksi-ATP.
Preparat enzim adenosine deaminase yang stabil telah dugunakan untuk mengobati
anak-anak demikian. Hal yang lebih baru sekarang, penggunaan gene transfection
telah dimulai untuk mengadakan pemulihan yang menetap dari aktivitas adenosine
deaminase(“gen terai”). Peenlitian sel T dan B yang beredar dalam darah telah
menunjukkan bahwa pasien dengan sindrom di George tidak mempunyai
sel T, sedangkan mereka dengan agamaglobulinemia konginetal tidak mempunyai sel
B. Kompleksitasi system
imun memberikan sejumlah titik-titk control yang cukup untuk menghambat
timbulnya “klon terlarang” yang reaktif dan menyerang konstituen inang sendiri,
dan hal ini relative jarang terjadi.
Tabel
Sitokinin
Sitokin
|
Sifat
|
Interferon α (IFB-α)
|
Menimbulkan aksi
antivirus dan antiproliferasi
|
Interferon β
(IFN-β)
|
Menimbulkan aksi
antivirus dan antiproliferasi
|
Interferon γ (
IFN-γ)
|
Menimbulkan aksi imunodilator,mengatur produksi sitokin
dan aktivitas mikrobial leukosit.
|
Interleukin-1
(IL-1)
|
Memacu pirogen
endogen dan pertumbuhan sumsum tulang,medilator peradangan
|
Interleukin-2
(IL-2)
|
Memacu
proliferasi sel T dan aktivitasnya untuk sel killer
|
Interleukin-3
(IL-3)
|
Memacu progenitor
awal dari sumsum tulang
|
Interleukin-4
(IL-4)
|
Memacu
proliferasi sel antigen-primed B dan sel T
|
Interleukin-5
(IL-5)
|
Memacu
priliferasi sel eosinofil
|
Interleukin-6
(IL-6)
|
Memacu sel plasma
dan progenitor awal sumsum tulang
|
Interleukin-7
(IL-7)
|
Memacu
proliferasi dan diferensiasi sel progenitor awal
|
Interleukin-8
(IL-8)
|
Faktor kemotaktik
netrofil
|
Interleukin-9
(IL-9)
|
Faktor pemacu
pertumbuhan sel mast
|
Interleukin-10 (IL-10)
|
Menekan respons
imun
|
Biasanya sebagian besar komponen sistem limfosit berada
dalam keadaan “tertekan’ kuat sampai secara selektif untuk mengahadapi resons
imun tertentu. Berbagai tahapan prose in
juga menyatakan secara tidak langsung kalau obat-obat imunosupresif
dapat diarahkan pada berbagai tahapan termasuk induksi toleransi spesifik.
Karena system imun digunakan untuk penghalang mikroorganisme yang
menyerang, termasuk virus onkogenik dan toksin dan sel asing, imunosupresi
umum dapat sanga berbahya bagi host.
Atau perkecualian yang perlu dicatat-imunoglobulin
Rh(D)o- yang sekarang dapat diperoleh untuk penggunaan klinik sebgai obat
imunosupresif, mempunyai khasiat imunosupresi umum meningkatkan bahaya infeksi
dan juga rsiko perkembangan limforetikuler dan bentuk lain kanker. Umumnya lebih
mudah mencegah atau mengrangi respon imun yang sudah terjadi.walaupun dengan
pembatasan dan peringatan ini imusosupresan terbukti kegunaanya dalam beberapa
penyakit imun yang yang didapat dan begitu ula ntuk transplantasi. Belum ada
definisi sederhana untuk kelainan autoimun,sering dihubungkan dengan aktivasi
dan poliferasi sel T dan dan produksi antibody terhada bahan jaringan inang.
Meskipun reaksi autoimun dapat disebabkan oleh eclipsed viruses(seperti
retrovirus), gejala dan tanda-tanda
penyakit sering berkurang terapi imunosupresi.
2.
Tes Imunokompeten
Berbagai teknik yang telah
dugunakan untuk mengetahui kompetensi imunologik dan perybahannyan yang
diakibatkan oabat. Tes paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengetahui
efek obat imunosupresi ata imuno ostimulasi adalah
(1) Tes
hopersensitivitas lambat dengan tes ntigen kulit untuk mengethui kemampuan
mengadakan respons pada antigen. Antigen ini biasanya mikroba, yang sebelumnya individu tersebut
telah terpapar. Contph paparan umum
meliputi parotitis, streptokinase-strept=domonas serta tuberculin. Antigen lain
termasuk zat kimia yang dapat membuat atu yang didapat.
(2) Pengukuran
imunogloulin serum, komplemen serum dan antibody spesifik terhdap berbagai
antigen alamiah atau yang didpat.
(3) Pengukuran berulang respons antibody setelah
imunisasi primer atau suntika booster
krdua.
(4) Jumlah
absolute limfosit yng ada dalam sirkulasi
(5) Pengukuran
pesenyaes sell b, sel T dan unsure lain yang terdiri atas limfosit darah.
(6) Respon
poliferasi limfosit in vitro terhadap mitrogen seperti fitohemaglutinin,
konkanavalin A dan mitogen pokeweed.
(7) Reaksi limfosit campuran, dimana limfosit
seseorang dicampur dan berpoliferasi sebagai respon pada limfosit alogenik
orang lain.
(8) Sitotoksisitas
sel NK terhadap sel tumor target.
3.
Hubungan Antara Terapi
Imunosupresif Dan Kemoterapi Kanker
Meskipun terdapat kesamaan penggunaan obat untuk
imunosupresi dan kemo terapi kanker, beberapa prinsip pokok berbeda dalam
pengaturan penggunaan obat untuk kedua katagori penyakit tersebut. Sifat dan
kinetik poliferasi sel imun dan memberikan gambaran yang berbeda dalam
penggunaan imunosupresi. Umpamanya poliferasi sel kanker “bukan karena
rangsangan”, sedangkan poliferasi sel imun terjadi sebagai tespons adanya
antigen spesifik. Pembelahan sel-sel kanker dalam populasi kanker yang besar
rupanya terjadi secara random dan tidak sinkron, poliferasi sel imun terjadi
secara relative lebih “sinkron ”dalam bentuk pembelahan miotik yang meledak
setelah masuknya antigen, dengan fraksi besar sel-sel responsive membentuk
siklus yang dapat menhasilkan imunitas spesifik. Jika obat sitotosik digunakan
pada waktu pa-paran pertama untuk antigen asing suatu porsentase yang tinggi
sekali dari permulaan sejumlah kecil sel precursor dapat dihancurkan, kerena
antigen memacu klon tertentu untuk berkembang bukan dari seluruh sel-sel imun.
Karena itu toksisitas selektif pada masa awal dapat diperoleh untuk melawan klon imun yang tidak
diinginkan, sedangkan tujuan ini lebih sulit diperoleh pada kemotrapi kanker.
Tambahan pula jika obat obat sototosik digunakan untuk suresi imun, umumnya
diberikan dalam dosis rndah dalam jadwal
harian untuk mengahambat poliferasi imun secara kelanjutan.
4.
Obat Imunosupresi
Kontrikosteroid merupakan obat hormone pertma yang
dikenal berkhasiat limfolitik. Penggunaan glikokortikoid mengurangi ukuran dan masa
limfoid dari nodus limfe dam limpa, meskipun obat tersebut tidak mempunyai efek
toksik pada sel-sel myeloid atau eritorid yang berpoliferasi mengganggu siklus
sel-sel limfoid. Mekanisme diterangkan dalam pasal 38 dan 56. Glukokortikoid
bersifat cukup sitotosik untuk sebagian sel T tetapi efek imunologik barangkali
disebabkan kemampuanya mengubah fungsi sel bukan dari peracunan sel
langsung.glukokortikoid digunakan untuk berbagai variasi lus kejadian klinik
yang diperkirakan kerena khasiat supresi imun dan anti inflamasi untuk
mendapatkan keuntungan dari kedua efek ini. Indikasi lai meliputi kelainan
autoimun seperti anemia heolitik autoimun, idiophathic threocytopenic purpura.
a.
Siklosporin
Siklosporin merupakan obat imunosupresif yang
menunjukkan efektivitas yang baik dalam cangkok alat tubuh manusia,dalam
pengobatan sindrom graft-versus-host
setelah cangkok sumsum dan dalam pengobatan kelainanan autoimun tertentu.
Siklosporin
diberikan per oral setiap hari dengan dosis antara 7,5 -25 mg/kg. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa
siklosporin sama potensi dan efikasinya untuk menyingkirkan penggunaan secara bersamaan kortikosteroid,azatioprin,siklifosfamid
dan obat imunosupresi lainnya, sedangkan pada beberapa pasien lain harus
dikombinasi dengan imunosupresi lain. Digunakan sebagai satu-satuya
imunosupresan cangkok kadaver ginjal,pankreas,hati dan juga telah
terbuktisangat berguna untukcangkok jantung,. Siklosporin (7,5 mg/kg/hari tau
kurang) juga baik sekali untuk berbagai kelainan autoimun sepert
uveitis,reumatoid artritis dan pengobtatan awal diabetes tipe I.
5.Obat Sitotosik
a.
Azatioprin
Azatioprin adalah turunan imidazolil dan
merkaptopurin (6-merkaptopurin, 6MP) dan berfungsi sebagai analog struktural
atau antimetabolit. Meskipun kerjanya diperkirakan melalui merkaptopurin
sebagai bentuk aktif,tetapi telah digunakan lebih banyak daripada merkaptopurin
untuk imunosupresi pada manusia.
Azatiprin diabsorbsi dari saluran cerna dengan baik dan dimetabolisir
terutama menjadi merkaptopurin. Xantin oksidase memecah bentuk aktifnya menjadi
ad=sam 6-tiourat sebelum dikeluarkan melalui urin. Setelah pemberian
azatioprin,sejumlah kecil obat yang tidak berubah dan merkaptopurin juga
dieksresikan ginjal dan intosikasi dua kali lipat dapat terjadi pada pasien
anuria.
Imunosupresan dengan terapi azatioprin atau
merkaptopurin tampaknya akan mengganggu metabolisme asam nuklaet pada tahap
yang diperlukan untuk terjadinya proliferasi sel setelah stimulu antigen.
Seperti merkaptopurin,toksisitas utama azatioprin adalah sumsum tulang dalam
dalam bentuk leukopenia,anemia,trombositopenia, dan dapat berupa pendarahan.
b.
Siklofosfamid
Alkilator siklofosfamid telah menjadi salah satu
obat yang dipertimbangkan
dan menguntungkan untuk imunosupresi pada hewan dan manusia. Barangkali
merupakan obat imunosupresi paling kuat yang pernah disintesis. Siklofosfamid
menghancurkan sel limfoid proliferatif tetapi juga mengalkilasi sel istirahat
(resting cells). Dengan dosis yang lebih kecil,sangat efektif untuk kelainan
autoimun ( termasuk sistemik lupus eritematosus), pada pasien dengan antibodi
faktor XIII yang di dapat dan sindrom pendarahan,anemia hemolitik
autoimun,aplasia sel darah merah murni yang diinduksi antibodi dan pasien
dengan granulomatosis Wegener.
c.
Obat
Sitotoksik Lain
Obat Sitotoksik lain, seperti
vinkristin, metotreksat, dan sitarabin, juga berkhasiat sebagai imunosupresi.
Metotreksat telah digunakan seacara luas dalam artritis rematoid. Meskipun
obat-obat lain dapat digunakan untuk imunosupresi, namun tidak diterima secara
luas seperti antagonis purin dan indikasinya untuk imunosupresi kurang jelas.
Penggunaan metotreksat ( yang dapat diberikan per oral ) cukup baik bagi pasien
yang idiosinkratik terhadap antagonis purin. Antibiotik daktinomisin juga telah
digunakan dengan hasil cukup baik untuk
mencegah terjadinya penolakan cangkok ginjal. Vinkristin berguna untuk
pengobatan idiopatik trombositopenik purpura yang refrakter pada prednison. Vinca
alkaloid vinblastin, dapat mencegah degranulasi sel mast in vitro dengan
mengikat unit mikrotubulus dalam sel dan mencegah lepasnya histamin den senyawa
vasoaktif lain.
d.
Antibodi
Antilimfosit dan Antitimosit
Antisera yang ditujukan pada
limfosit telah disiapkan secara sporadis sejak observasi Metchnikoff pertama
pada awal abad ini. Dengan era homotransplantasi organ manusia, globulin
antilimfositik heterolog ( ALG ) menjadi sesuatu yang baru dan penting. ALG dan
globulin dan antitimosit ( ATG ) dan monoklonal antibodi anti sel T sekarang
digunakan klinik pada berbagai pusat kesehatan yang mempunyai program
transplantasi morgan. Antiserum biasanya diperoleh dengan imunisasi hewan besar
dengan sel limfoid manusia atau dengan teknik hidridoma untuk pembentukan
antibodi monoklonal.
Antibodi antilimfosit bekerja
terutama pada limfosit perifer yang hidup lal, kecil, dan beredar di antara
darah dan pembuluh limfe. Dengan pemberian yang berkesinambungan, limfosit “ thymus dependent “ dari folikel limfoid cuff
juga musnah , yang pada keadaan normal ikut serta dalam resirkulasi pool .
Mekanisme yang lain adalah
sitotoksitas yang diperantarai sel dan tergantung pada antibodi. Di
samping lisis sel, pembentukan antibodi
dapat menghambat fungsi imun dengan mengubah ekspresi permukaan molekul terkait
dalam funsi limfosit.
Penggunaan
Klinik Obat Imunosupresi
Obat imunosupresan sekarang ini digunakan dalam 3
keadaan klinik: (1) cangkok organ, (2) gangguan, (3) gangguan isoimun (
penyakit hemolitik Rh pada bayi ). Penggunaan dan jadwal pemberian obat tidak
sama tehadap penyakit yang dihadapi.
Meskipun demikian jadwal pengobatan yang optimal masih perlu ditetapkan dalam
situasi klinik setiap penyakit yang
menggunakan obat jenis tersebut.
Penyakit
|
Obat
Imunosupresi yang Digunakan
|
Respons
|
Autoimun
Idiopatik
thrombositopenik purpura
|
Prednison,
1 vinkristin, kadang-kadang merkaptopurin atau azatioprin, dosis
tinggi gama globulin
|
Biasanya
bagus
|
Autoimun
hemolitik anemia
|
Prednison,1
siklofosfamid,kloramnusil,merkaptopuirin,
azatioprin
|
Biasanya
bagus
|
Glomerulonefritis
akut
|
Prednison,1
merkaptopurin, siklofosfamid
|
Biasanya
bagus
|
Acquired factor XIII
antibodies
|
Siklofosfamid
plus faktor XIII
|
Biasnya
bagus
|
Penyakit
“ autoreaktif “ lain
|
Prednison,
siklotosfamid,azatioprin,siklosporin
|
Sering
kali bagus
|
Isoimun
Anemia
hemolitik bayi baru lahir
|
Globulin
imun Rho (D)1
|
Sangat
bagus
|
Transplantasi
Organ
Ginjal
Jantung
|
Sikloporin,azatiprin,prednison,
ALG, antibodi monoklonal, daktinomisin, siklofosfamid
|
Sangat
bagus
Bagus
|
Hati
|
Siklosporin,prednison
|
Sedang
|
Sumsum
tulang (HLA-matched)
|
Siklosporin,siklotosfamid,prednison,metotreksat,
ALG,iradasi tubuh total, sumsum donor yang dibersihkan dengan antibodi
monoklonal anti-sel T,imunotoksin.
|
Sangat
bagus
|
6.
Transplantasi
organ
Didasarkan pada kesesuaian
histokompatibilitas donor dan resipien dengan antigen leukosit manusia ( HLA)
sistem haplotipe dan kultur limfosit campuran in vitro, memberi keuntungan yang
juelas. Kesesuaian histo kompatibilitas yang erat kemungkinan besar mengurangi
rejeksi graft dan juga mengurangi
kebutuhan terapi imunosupresi intensif.
Penyakit ginjal primer itu sendiri
seringkali berupa kelainan imunologi alamiah, dua tipe utama luka
glomerulonefritis akut, diperantarai oleh mekanisme imun. Demikian pula pasien
dengan penyakit SLE adalah calon yang buruk untuk cangkok ginjal, sampai
penyebab sistemik dari kerusakan ginjal itu dapat dikontrol.
Pada waktu ini lebih dari 80%
csngkok ginjal yang tidak berkaitan (nonrelated)
tetapi dipilihy dengan baik dapat bertahan lebih dari 2tahun setelah cangkok
dan 5 tahun survival bukanlah suatu
harapan yang semu. Seperti dibicarakan di atas, penggunaan antibodi snti sel T
monoklonal muromonab CD3 telah menurunkan secara bermakna rejeksi graft akut.
Pasien dengan anemia aplastik atau
leukimia memerlukan imunosupresi yang intensif sebelum transplantasi.
Antibodi monoklonal terhadap
terhadap anti-gen yang berhubungan dengan leukimia, limfoma dan neuroblastoma
telah digunakan untuk “ membersihkan “ sumsum tulang pasien untuk simpanan
sumsum tulang autolog dan infus ulangan setelah kemoterapi dosis tinggi.
Siklosporin telah terbukti sebagai
obat imunosupresi yang efektif untuk transplantasi ginjal,jantung,hati atau
sumsum tulang. Bersama dengan obat yang lebih baru, sekarang obat ini sedang
sedang dievaluasi sebagai alternatif
terhadap rejimen imunosupresi yang lebihkompleks.
7.
Penyakit
Autoimun
Efektivitas obat-obat imunosupresi
dalam gangguan autoimun sangat berbeda. Meskipun demikian dengan terapi
imunosupresi, remisi dapat diperoleh pada berbagai keadaan dari anemia
hemolitik autoimun, idiopatik trombositopenik purpura, diabetes mellitus I,
tiroiditas Hashimoto, dan arteritis temporal. Beberapa kasus anemia aplastik
idiopatik juga mempunyai basis autoimun.dalam beberapa keadaan disebabkan
peningkata aktivitas sel-T supresor CD8+.
Beberapa pasien baru dengan anemia
aplastik menunjukkan perbaikan klinik dan perpanjangan survival dengan ATG
saja. Beberapa kasus sebelumnya yang diberi transplantasi sumsum tulang setelah
diobati dengan siklofosfamid, siklosporin atau ALG, menunjukkan perbaikan
jangka panjang dalam jumlah darah walau ada bukti rejeksi graft dan perbaikan
fungsi sumsum resepien, juga memperbaiki beberapa kasus anemia aplastik dengan
dasar autoimun.
Dalam banyak keadaan dianggap hanya
khasiat obat-obat imunosupresi seperti prednisone, siklosporin, siklofosfamid,
merkaptopurin atau ALG yang menghasilkan perbaikan ini. Efek anti-inflamasi
dari beberapa obat tersebut juga memberikan kontribusi untuk efikasinya.
8.
Obat-Obat
Imunomodulator
Bidang baru dalam farmakologi masih
dalam tahap penjajakan dan berdebatan adalah perkembangan obat-obat yang dapat
mengadakan modulasi respons imun pasien yang mempunyai imunodefisiensi selektif
atau umum. Penggunaan potensi utama adalah dalam penyakit imunodefisiensi ,
penyakit infeksi kronis dan kanker. Sekarang dua obat imunostimulator atau
imunomodulator (BCG dan levamisol) digolongkan sebagai obat yang telah
diteliti. Epidemi AIDS telah meningkatkan kecenderungan dalam mengembangkan
obat imunomodulator yang lebih efektif. Organisme HIV masuk tubuh dan
menghancurkan sel helper CD4+, yang menyebabkan kelumpuhan imunologik yang
progresif.
9.
Timosin dan Peptida
Timik Lain
Timosin terdiri dari kelompok
protein hormone yang disintesis oleh komponen epitelioid timus. Sudah dapat
diisolasi dan dimurnikan dari kelenjar timus sapi dan manusia. Kadar timosin
tetap tinggi pada anak normal dan awal dewasa, mulai turun pada decade ketiga
dan keempat serta rendh pada usia tua. Kadar serum juga rendah dalam sindrom
DiGeorge dengan efisien sel T. Pengobatan in vitro limfosit dengan timosin
meningkatkan jumlah sel ditunjukkan oleh surface marker dan fungsi sel T.
Secara mekanis, timosin dianggap
memecu maturasi sel pre-T. Efek transplantasi timus fetal pada sindrom DiGeorge
mungkin disebabkan karena timosin. Hormone yang dimurnikan memberikan efek yang
potensial untuk sindrom DiGeorge dan keadaan efesien sel T lainnya. Peptide
rekombinan yang merupakan turunan hormone ini, timosin à-1, memacu produksi
IL-2 dan meningkatkan ekspresi reseptor IL-2 pada limfosit T. Peptida ini sudah
diuji klinik untuk pengobatan kanker dan hepatitis aktif kronis dengan hasil
permulaan yang menggembirakan .
Dua peptida lain yang berkaitan
dengan timus, timopentin dan factor
humoral timik, juga berkhasiat memacu sel T dan sedang diteliti untuk
pengobatan AIDS, kanker dan hepatitis.
a.
Sitokin
Sitokinin
adalah kelompok protein heterogen dengan fungsi bermacam-macam. Beberapa
diantaranya berupa protein imunoregulator disintesis dalam sel limforetikular
dan memainkan banyak peran dalam interaksi fungsi system imun dan control untuk
hematopoiesis. Sebagian besar dari sitokin yang baru ditemukan dikelompokkan
sebagai interleukin dan diberi nomor sesuai dengan urutan penemuannya.
Identifikasi interleukin dan produksi sitokin yang amat murni dari berbagai
tipe telah dimungkinkan dengan pengembangan dan aplikasi biofarmasi teknik
cloning gen.
Sekarang obat-obat ini telah
tersedia melalui rekayasa genetic, sitokin berperan semakin penting dalam
imunofarmakologi dan kemungkinan akan digunakan dalam berbagai pengobatan untuk
infeksi, inflamasi, autoimun dan kelainan neoplasma. Sitokin sebagai ajuvan
pada vaksin sedang diteliti baru-baru ini. Interferon dan IL-2 menunjukkan efek
positif dalam respons manusia pada vaksin hepatitis B. Namun sitokin rekombinan
merupakan obat mahal dan tidak akan mencapai penggunaan luas sebagai ajuvan
vaksin.
Pendekatan untuk imunomodulasi
adalah penggunaan inhibitor sitokin dalam pengobatan penyakit inflamasi dan
syok septic, kondisi dimana sitokin seperti IL-1 dan TNF tersangkut dalam
mekanisme patogenetik. Antisitokin monoclonal anti bodi masih dalam penelitian,
reseptor sitokin yang larut (kedua reseptor IL-1 yang larut dan reseptor TNF
yang larut terjadi secara alamiah manusia), dan antagonis IL-1 reseptor yaitu
IL-1 Ra (juga molekul yang terjadi alamiah dan terikat pada reseptor IL-1
tetapi tidak memacu respons biologi) masih dalam penelitian. Uji klinik lain
menggunakan IL-1 Ra untuk colitis ulseratif, arthritis rematoid dan leukemia
mielogenus juga sedang dikerjakan.
b.
Obat Sintetik
Beberapa zat kimia sintetik telah
ditemukan memiliki sifat-sifat imunomodulasi. Agen kimia levamisol pertama kali
disintesis untuk pengobatan infeksi
parasit. Dari pengamatan selanjutnya, obat ini berperan penting dalam
meningkatkan hipersensivitas lambat atu imunitas yang diperantarai sel-T pada
manusia. Obat ini juga memperkuat kerja fluorourasil dalam terapi ajuvan kanker
kolorektal dan sebagai kombinasi telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan
klinik dalam pengobatan kanker kolorektal kelas C dari Dukes setelah
pembedahan. Penggunaan obat ini sangat mengurangi rekurensi dan mekanismenya
mungkin berkaitan dengan aktivasi
magrofag dan dapat membunuh sel-sel sisa tumor. Obat sintetik lain yang sedang
diteliti untuk pengobatan AIDS dan kanker adalah senyawa sianoaziridin
(azimekson, siamekson dan imekson) dan metalinosin monofosfat.
c.
BCG
(Bacille Calmette-Guerin) dan Ajuvan lain
BCG merupakan srain hidup dari Mycobacteriumbovis yang telah digunakan
untuk imunisasi terhadap tuberkulosa. Telah dipakai untuk terapi ajuvan
non-spesifik atau imunostimulan dalam pengobatan kanker tetapi hanya berhasil
dalam terapi intravesikal atau kanker kandung kemih superficial. BCG mengadakan
aktivasi magrofag untuk lebih efektif sebagai sel pembunuh yang bekerja sama
dengan sel limfoid dalam cabang eferen dari respons imun. Ekstrak lipid BCG
(contoh , residu methanol ekstrak) beserta preparat Corynebacterium parvum yang mati mempunyai kemampuan imunostimulan
nonspesifik yang hamper sama.
10.
Reaksi Imunologi pada
Obat dan Alergi Obat
Mekanisme dasar imunitas dan cara
bagaimana untuk menghambat atau memacunya dengan obat telah dibicarakan pada
bab ini. Obat juga mengaktifkan system imun dengan yang tidak diinginkan yang
bermanifestasi sebagai reaksi yang merugikan. Reaksi ini umumnya dimasukkan
dalam klarifikasi yang luas sebagi “alergi obat”. Reaksi obat diperantarai oleh
proses imun dapat mempunyai mekanisme yang berbeda. Salah satu dari jenis
hipersentivitas dibawah ini dapat dihubungkan dengan reaksi alergi obat.
Tipe
I: reaksi alergi akut diperantarai IgE terhadap sengatan, serbuk bunga dan
obat, termasuk anafilaksis, urtikaria dan angioedem.
Tipe
II: reaksi alergi tergantung pada komplemen dan melibatkan antibody IgD atau
IgM dimana antibody melekat pada sel darah yang beredar dan dapat mengalami
lisis yang bergantung pada komlemen.
Tipe
III: reaksi obat dengan contoh sakit serum, melibatkan imun komleks yang
mengandung IgD dan merupakan vaskulitas
komlemen-dependent yang multisystem.
Tipe
IV: alergi melalui sel yang mekanismenya berupa kontak alergi dermatitis dari
pemakaian obat topical.
Dari
jumlah reaksi obat, beberapa dari reaksi hipersensitivitas ini dapat terjadi
bersamaan.
11.
Alergi
Cepat Obat (Tipe I )
Mekanisme aktivasi imun yang
mengadakan reaksi dalam alergi obat sama dengan respon antibody humoral yang
biasa terjadi pada makromolekul asing. Ikatan ini dapat terjadi pada tubuh
dengan jaringan normal atau protein serum yang berfungsi sebagai karier.
Respons imun berikutnya yang terjadi akan bersifat spesifik untuk hapten
meskipun ikatan dalam satu karier penting untuk pengenalan imun. Ketiaka obat
berfungsi sebagai hapten sel precursor yang membentuk antibody yang responsive
sering merupakan sel precursor yang menghasilkan antibody golongan IgE.
Kemudian fiksasi antibody IgE terhadap reseptor Fc yang mempunyai afinitas
tinggi dari basofil darah atau sel yang berasal dari jaringan yang ekuivalen
akan menyebabkan terjadi reaksi alergi akut.
12.
Pengobatan
Alergi Cepat pada terhadap Obat
Seseorang dapat
diketahui sensitive atau tidak terhadap obat dengan tes goresan yang sederhana
yaitu dengan menggunakan larutan obat yang sangan encer pada kulit dan membuat
goresan dengan ujung sebuah jarum. Jika terdapat alergi, pada kulit terjadi
pembengakakan dan berwarna merah seperti kaligata. Obat yang dapat mengubah
respons alergi bekerja pada beberapa mata rantai dari rangkaian kejadian ini.
Prednison sering digunakan untuk reaksi alergi hebat, adalah imunosupresif dan
barangkali menghambat proliferasiklon penghasil IgE dan menghambat produksi
IL-4 dengan sel helper T dalam respons IgE.
14.
Desentisisasi
Obat
Jika tidak ada pilihan lain,
obat-obat tertentu seperti penisilin harus digunakan untuk penyakit yang
membahayakan jiwa meskipun diketahui dapat menimbulkan sensitivitas alergi.
Dalam keadaan demikian, desentisisasi kadang-kadang dilakukan dengan melalui
dosis sangat kecil dan ditingkatkan secara bertahap dalam periode jam atau hari
sampai mencapai dosis terapi penuh. Mekanisme yang sebenarnya dari proses
desentisisasi obat itu sangat komleks danbelum diketahui seluruhnya. Dapat
disebabkab anafilaksi yang terkendali (dengan deplesi perlahan sel mast dan
basofil) sementara gejala ditekan atau disebabkan kelebihan antigen, yang dalam
keadaan tertentu dapat terjadi hambatan pelepasan mediator, desensitisasi
alergi dilaksanakan dengan stimulasi sel klon kompetitif yang memproduksi
“blocking” antibody, sering dari golongan immunoglobulin IgG atau IgA.
13.
Reaksi
Autoimun (Tipe II) pada Obat
Beberapa sindrom autoimun tertentu
dapat ditimbulkan obat. Contoh fenomena ini adalah lupus sistemik eritematosus
setelah terapi dengan hidralzin atau
prokainamid, “ hepatitis lupoid” karena sensitive pada obat pencahar, anemia
hemolitik autoimun akibat pemakaian me-til dopa, trombosikopenik purpura karena
kuinidin dan agranulositosis karena berbagai obat. Dalam keadaan autoimun yang
disebabkan obat ini, antibody terhadap konstituen jaringan atau obat dapat diperlihatkan.
Untungnya, reaksi autoimun terhadap obat ini biasanya surut setelah beberapa
bulan setelah obat yang bersangkutan dihentikan. Terapi imunosupresi hanya
diperlukan jika respons autoimun sangat hebat.
14.
Reaksi
Penyakit Serum dan Vaskulitis(Tipe III)
Reaksi penyakit serum
terhadap obat lebih umum dari respons anafilaktik segera. Bentuk kliniknya
berupa erupsi urtikaria pada kulit, artalgia atau arthritis, limfadenopati dan
demam. Reaksi umumnya berlangsung 6-12 hari, biasanya reda setelah obat penyebab
dihentikan. Vaskulitis imun juga dapat disebabkan obat. Obat-obat seperti
sulfonamid, penisilin, tiourasil, antikonvulsan, dan yodida dapat menginisiasi
angiitis hipersensitif.
18. Identifikasi Klinik
dari Reaksi Imunologik terhadap Obat
Memperhatikan banyaknya obat-obat
yang diberikan pada pasien dirumah sakit, tidak selalu mudah menetapkan obat
mana yang menimbulkan sindrom imun atau alergi terhadap obat. Dengan anamnesa,
obat yang teliti sebelum terjadinya sensitivitas obat, merupakan hal yang amat
penting untuk pembuatan medical record pasien dan kelalaian dalam melakukan hal
ini dapat berbahaya. Obat alternative harus digunakan misalnya antibiotic,
perlu untuk memilih satu bentuk yang berbeda dari golongan lain untuk
menghindarkan reaksi sensitive silang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar